Keaksaraan Fungsional adalah sebuah usaha pendidikan luar sekolah dalam membelajarkan warga masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki mampu menulis, membaca dan berhitung untuk tujuan yang pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, untuk peningkatan mutu dan taraf hidupnya.
Prioritas usia penyandang buta aksara berusia 15-50 tahun pada pemberantasan buta aksara melalui program keaksaraan fungsional. Buta aksara adalah
orang yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil studi, warga belajar program KF, terdiri dari dua karakteristik yaitu yang berasal dari buta aksara murni dan Droup Out Sekolah Dasar yang masih memerlukan layanan pendidikan keaksaraan sampai memenuhi kompetensi keaksaraan yang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, keaksaraan fungsional berpusat pada masalah, mengarahkan pengalaman belajar pada masalah yang dihadapi oleh warga belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberantasan buta aksara memiliki tahapan, yaitu, tahap keaksaraan dasar dan tahap keaksaraan mandiri. Tahap keaksaraan dasar adalah warga belajar yang belum memiliki pengetahuan dasar tentang calistung (baca tulis hitung) tetapi telah memiliki pengalaman yang dapat dijadikan kegiatan pembelajaran. Terakhir, tahap keaksaraan mandiri adalah warga belajar telah memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pada hasil belajarnya, warga belajar diharapkan dapat menganalisa dan memecahkan masalah dalam rangka untuk meningkatkan mutu taraf hidupnya.
b. Fungsi dan Tujuan
Keaksaraan Fungsional memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang bersifat fungsional dalam meningkatkan mutu dan taraf kehidupan dan masyarakatnya. “Tujuan utama program keaksaraan fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, dan hitung (calistung) dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari.”[1]
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Hakikat pembelajaran keaksaraan fungsional berpusat pada masalah, minat dan kebutuhan warga belajar itu sendiri. Substansi materi belajarnya didasarkan pada kegiatan untuk membantu mereka dalam mengimplementasikan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Program keaksaraan fungsional dapat terlaksana dengan baik apabila sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, maka pembelajaran keaksaraan fungsional hendaknya mengacu pada prinsip berikut:
Konteks lokal
Disain lokal
Proses partisipatif
Fungsionalisasi hasil belajar[2]
Prinsip-prinsip tersebut diatas sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran keaksaraan fungsional. Tutor bersama warga belajar hendaknya dapat memperhatikan bagaimana implementasi dari prinsip tersebut.
d. Strategi Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Hakikatnya warga belajar keaksaraan fungsional merupakan tergolong dalam orang dewasa. ”Strategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya mengikuti kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa (Andragogi).”[3] Kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa yang dimaksud adalah:
Pembelajaran harus berorientasi pada masalah (problem oriented).
Pembelajaran harus berorientasi pada pengalaman pribadi warga belajar (experiences oriented).
Pembelajaran harus memberi pengalaman yang bermakna (meaningfull) bagi warga belajar.
Pembelajaran harus memberi kebebasan bagi warga belajar sesuai dengan minat, kebutuhan dan pengalamannya.
Tujuan pembelajaran harus ditetapkan dan disetujui oleh warga belajar melalui kontrak belajar (learning contract).
Warga belajar harus memperoleh umpan balik (feedback) tentang pencapaian hasil belajarnya.[4]
Pembelajaran pada orang dewasa juga harus berorientasi pada pengalaman warga belajar itu sendiri. Hasil dari pengalaman itu yang menentukan ide, pendirian dan nilai dari orang yang bersangkutan. Pikiran, ide, pengalaman dan informasi yang terdapat diri warga belajar harus dikembangkan sehingga akan membantu perkembangan atau kemajuan belajarnya. Pengalaman merupakan sumber yang kaya untuk dipelajari. Oleh karena itu, orientasi belajar orang dewasa berkaitan dengan erat dengan keinginan dan ketetapannya untuk mengarahkan diri sendiri menuju kedewasaan, dan kemandirian agar pembelajarannya bermakna.
Hakikat tujuan belajar merupakan pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tetapi dalam proses belajar orang dewasa harus sesuai dengan kontrak belajar yang telah disepakati. Kondisi tersebut dapat menciptakan suasana belajar lebih kondusif.
e. Pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional Dasar
Program keaksaraan fungsional dasar dilaksanakan dibeberapa wilayah Indonesia. Salah satunya diselenggarakan di Jakarta. Program keaksaraan dilaksanakan dengan berbagai metode dan pendekatan oleh lembaga dengan tujuan memberikan ketertarikan warga belajar yang memang usia mereka antara 15 – 55 tahun. Metode dan pendekatan yang dilakukan pun berbeda-beda sesuai dengan desain konteks lokal dari keberadaan penyelenggaraan program. Program keaksaraan pun diikuti dengan kegiatan fungsional seperti, membuat sabun colek ataupun kegiatan peningkatan keterampilan hidup warga belajar. Perbedaan metode dan pendekatan yang dilakukan oleh lembaga berpedoman kepada Standar Kompetensi Keaksaraan Dasar (SKKD) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
SKKD mengenai keaksaraan pun telah direvisi oleh Kemendiknas khususnya Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal pada tahun 2009. SKKD itu sendiri merupakan standar minimal yang harus dikuasai oleh warga belajar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar. SKKD ini melingkupi beberapa aspek, yaitu, 1). Mendengar; 2). Berbicara; 3). Membaca; 4). Menulis; dan 5). Berhitung. Keseluruhan aspek SKKD yang telah direvisi berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan bermakna bagi warga belajar.
Hasil revisi SKKD yang telah diterbitkan memuat Standar Kempetensi Lulusan Pendidikan Keaksaraan Dasar (SKL – PKD). SKL – PKD ini dimaksudkan sebagai kualifikasi kemampuan warga belajar setelah mengikuti program keaksaraan dasar yang mencangkup pengetahuan, sikap dan keterampilan. SKL – PKD dijabarkan dalam standar kompetensi dan selanjutnya dijabarkan dalam kompetensi dasar. SKL – PKD terdiri dari lima standar kompetensi sesuai dengan SKKD, yaitu standar kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung.
Standar kompetensi mendengarkan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu memahami wacana lisan berbentuk pesan, perintah, petunjuk yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi berbicara ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan, bertanya, bercerita, mendeskripsikan benda, memberikan tanggapan/saran yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi membaca ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa teks panjang, pesan, petunjuk, lambang dan nama bilangan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi menulis ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi berhitung ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu melakukan penghitungan matematis secara lisan dan tulis yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi keaksaraan ditempatkan dalam alur penyusunan rencana pembelajaran keaksaraan dasar. Standar kompetensi keaksaraan disusun mengikuti alur rencana pembelajaran secara sistematis mulai dari tingkat pusat sampai kepada tutor sebagai pengajar. Pusat atau dalam hal ini Kemendiknas memberikan acuan ke daerah/ pengelola berupa standar kompetensi lulusan dengan bentuk kompetensi dasar yang berisi kompetensi dasar sebagai indikator yang dapat dinilai. Daerah/ pengelola menterjemahkan acuan pusat menjadi silabus untuk dikembangkan tutor. Tutor mengembangkan silabus yang diberikan oleh pengelola menjadi rencana pelaksanaan pembelajaran yang bermuatan, yaitu, 1). Tujuan pembelajaran; 2). Materi pembelajaran; 3). Metode pembelajaran; 4). Sumber belajar; dan 5). Penilaian hasil belajar. Berikut ini bagan mengenai alur yang diberikan oleh pusat sampai dikembangkan oleh tutor :
Kedudukan Standar Kompetensi Keaksaraan dalam Alur
Penyusunan Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar
Standar kompetensi keaksaraan dalam alur rencana pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan oleh penyelenggara program pembelajaran keaksaraan fungsional. Kegiatan keaksaraan fungsional dilakukan melalui beberapa metode, pendekatan dan juga materi yang diberikan dan telah disesuaikan dengan warga belajar berdasarkan kondisi lingkungan eksternal maupun internal dari warga belajar. Kenyataannya banyak sekali program keaksaraan yang memberikan materi keterampilan dalam hal fungsional seperti pembuatan sabun colek atau membuat kue kering sebagai sajian hidangan pesta.
Yappika memberikan materi pembelajaran yang berbeda mengenai hak dasar dengan fokus pada 4 hal, yaitu, 1) Hak mendapatkan pendidikan; 2) Hak mendapatkan pelayanan kesehatan; 3) Hak memeluk agama; dan 4) Hak kebebasan berpendapat yang merupakan penyadaran hak pelayanan publik sebagai bentuk fungsional dari kegiatan keaksaraan. Yappika itu sendiri adalah sebuah organisasi non politik yang saat ini sedang mendampingi berjalannya undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang memberikan jaminan pemenuhan pelayanan publik yang layak, termasuk pendidikan. Yappika sebagai penyelenggara program memfokuskan pada peningkatan kapasitas masyarakat terutama perempuan dalam mempertanyakan praktek-praktek pelayanan publik yang disediakan pemerintah yang mereka terima untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Pelaksanaan program ini menghasilkan outcome berupa meningkatnya pemahaman warga belajar mengenai prosedur mengakses pelayanan publik sebagai hak dasar mereka dan adanya dukungan dari pemerintah desa/kelurahan atau key person lokal lainnya untuk pengembangan sarana kegiatan belajar komunitas secara berkelanjutan. Output dari kegiatan keaksaraan adalah meningkatnya kemampuan baca-tulis-hitung perempuan buta aksara di komunitas miskin kota serta kemampuan memahami informasi tentang pelayanan publik di bidang kesehatan dan adminduk (administrasi penduduk), terbangunnya kerelawan warga, meningkat dan menguatnya keterampilan mahawarga belajar dalam pengembangan keaksaraan fungsional untuk masyarakat miskin kota, dan adanya strategi-strategi untuk pengembangan sarana belajar komunitas.
Keaksaraan fungsional penyadaran hak pelayanan publik juga menggunakan critical literacy sebagai pendekatan pembelajaran selain menerapkan pendidikan orang dewasa sebagai dasar pembelajaran. Critical literacy ini dimaksudkan sebagai strategi dalam hal membangun kognisi, afeksi dan psikomotorik warga belajar untuk memenuhi standar kompetensi mendengar dan berbicara sesuai dengan acuan SKKD. Bentuk dari critical literacy itu sendiri adalah membuat suasana belajar untuk dapat mengemukakan pendapat dan bertanya di dalam diskusi dalam kelompok belajar. critical literacy adalah sebuah ilmu mengenai rektorika untuk memulai percakapan dengan hubungannya dengan kekuatan bertanya. Menurut Anderson dan Irvine, 1982, critical literacy adalah pembelajaran untuk membaca dan menulis sebagai proses kesadaran menjadi salah satu pengalaman sebagai nilai historis.
1. Hakikat Pendidikan Orang Dewasa
a. Pengertian Orang Dewasa
Robert D. Boyd berpendapat bahwa orang dewasa adalah pribadi yang matang dan independen, dan telah mengalami beberapa tahapan proses psikologis yang berbeda dari psikologis anak-anak.[5] Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pendekatan terhadap orang dewasa sangat berbeda dengan pendekatan terhadap anak-anak, terutama pada lingkup pendidikan. Orang dewasa akan merasa dihargai bila pembelajaran yang diikutinya mengacu pada pemecahan masalah, bertukar informasi, sesuai dengan pengalaman yang mereka alami dan tidak terkesan mentutori. Orang dewasa cenderung memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi.[6] Mereka berpendapat bahwa belajar merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosialnya. Makna pembelajaran bagi orang dewasa hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Soedomo berpendapat bahwa dalam merencanakan sekaligus menumbuhkan motivasi orang dewasa dalam proses pembelajaran, perlu diperhatikan beberapa ciri seperti berikut ini:
Motivasi belajar berasal dari dirinya sendiri.
Orang dewasa belajar jika bermanfaat bagi dirinya.
Orang dewasa akan belajar jika pendapatnya dihormati.
Orang dewasa belajar ingin mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
Orientasi belajar orang dewasa terpusat pada kehidupan nyata.
Belajar bagi orang dewasa adalah hasil mengalami sesuatu.
Belajar bagi orang dewasa bersifat unik.
Orang dewasa umumnya mempunyai pendapat, kecerdasan, dan cara belajar yang berbeda.
Belajar bagi orang dewasa terkadang merupakan proses yang menyakitkan.
10. Orang dewasa mengharapkan suasana belajar yang menyenangkan dan menantang.
11. Terjadi komunikasi timbal balik dan pertukaran pendapat.
12. Sumber belajar bagi orang dewasa berada pada diri mereka itu sendiri.
13. Pada belajar orang dewasa lebih mengutamakan peran orang dewasa sebagai warga belajar didik.
14. Belajar bagi orang dewasa merupakan hasil kerja sama antara manusia dan merupakan proses emosional dan intelektual sekaligus.[7]
Ciri-ciri di atas merupakan karakteristik dari orang dewasa selama proses pembelajaran. Karakteristik orang dewasa perlu diketahui dalam memulai suatu kegiatan pembelajaran bagi orang dewasa, sehingga mereka akan merasa dihargai dan situasi pembelajaran akan lebih berpusat pada warga belajar didik orang dewasa (student oriented).
[1] Standar Kompetensi Keberaksaraan, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional, 2006), p.6.
[2] Kusnadi, M.Pd, op.cit., p.192-197.
[3] Standar Kompetensi Keberaksaraan, op.cit., p.9.
[4] Tom Burkard, Understanding and Facilitating Adult Learning, (San Fransisco: Josey Bass Publlishers, 1999), p.31.
[5] (http://eeqbal.blogspot.com/2008/12/konsep-pendidikan-orang-dewasa-dan.html) akses tanggal 30 April 2011.
[6] Ibid., h. 3.
[7] Dr. Ir. H. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 45.
http://prari007luck.wordpress.com
Prioritas usia penyandang buta aksara berusia 15-50 tahun pada pemberantasan buta aksara melalui program keaksaraan fungsional. Buta aksara adalah
orang yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil studi, warga belajar program KF, terdiri dari dua karakteristik yaitu yang berasal dari buta aksara murni dan Droup Out Sekolah Dasar yang masih memerlukan layanan pendidikan keaksaraan sampai memenuhi kompetensi keaksaraan yang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, keaksaraan fungsional berpusat pada masalah, mengarahkan pengalaman belajar pada masalah yang dihadapi oleh warga belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberantasan buta aksara memiliki tahapan, yaitu, tahap keaksaraan dasar dan tahap keaksaraan mandiri. Tahap keaksaraan dasar adalah warga belajar yang belum memiliki pengetahuan dasar tentang calistung (baca tulis hitung) tetapi telah memiliki pengalaman yang dapat dijadikan kegiatan pembelajaran. Terakhir, tahap keaksaraan mandiri adalah warga belajar telah memiliki pengetahuan dan pengalaman. Pada hasil belajarnya, warga belajar diharapkan dapat menganalisa dan memecahkan masalah dalam rangka untuk meningkatkan mutu taraf hidupnya.
b. Fungsi dan Tujuan
Keaksaraan Fungsional memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dasar manusia yang meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang bersifat fungsional dalam meningkatkan mutu dan taraf kehidupan dan masyarakatnya. “Tujuan utama program keaksaraan fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, dan hitung (calistung) dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari.”[1]
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Hakikat pembelajaran keaksaraan fungsional berpusat pada masalah, minat dan kebutuhan warga belajar itu sendiri. Substansi materi belajarnya didasarkan pada kegiatan untuk membantu mereka dalam mengimplementasikan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Program keaksaraan fungsional dapat terlaksana dengan baik apabila sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, maka pembelajaran keaksaraan fungsional hendaknya mengacu pada prinsip berikut:
Konteks lokal
Disain lokal
Proses partisipatif
Fungsionalisasi hasil belajar[2]
Prinsip-prinsip tersebut diatas sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran keaksaraan fungsional. Tutor bersama warga belajar hendaknya dapat memperhatikan bagaimana implementasi dari prinsip tersebut.
d. Strategi Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
Hakikatnya warga belajar keaksaraan fungsional merupakan tergolong dalam orang dewasa. ”Strategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan hendaknya mengikuti kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa (Andragogi).”[3] Kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa yang dimaksud adalah:
Pembelajaran harus berorientasi pada masalah (problem oriented).
Pembelajaran harus berorientasi pada pengalaman pribadi warga belajar (experiences oriented).
Pembelajaran harus memberi pengalaman yang bermakna (meaningfull) bagi warga belajar.
Pembelajaran harus memberi kebebasan bagi warga belajar sesuai dengan minat, kebutuhan dan pengalamannya.
Tujuan pembelajaran harus ditetapkan dan disetujui oleh warga belajar melalui kontrak belajar (learning contract).
Warga belajar harus memperoleh umpan balik (feedback) tentang pencapaian hasil belajarnya.[4]
Pembelajaran pada orang dewasa juga harus berorientasi pada pengalaman warga belajar itu sendiri. Hasil dari pengalaman itu yang menentukan ide, pendirian dan nilai dari orang yang bersangkutan. Pikiran, ide, pengalaman dan informasi yang terdapat diri warga belajar harus dikembangkan sehingga akan membantu perkembangan atau kemajuan belajarnya. Pengalaman merupakan sumber yang kaya untuk dipelajari. Oleh karena itu, orientasi belajar orang dewasa berkaitan dengan erat dengan keinginan dan ketetapannya untuk mengarahkan diri sendiri menuju kedewasaan, dan kemandirian agar pembelajarannya bermakna.
Hakikat tujuan belajar merupakan pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tetapi dalam proses belajar orang dewasa harus sesuai dengan kontrak belajar yang telah disepakati. Kondisi tersebut dapat menciptakan suasana belajar lebih kondusif.
e. Pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional Dasar
Program keaksaraan fungsional dasar dilaksanakan dibeberapa wilayah Indonesia. Salah satunya diselenggarakan di Jakarta. Program keaksaraan dilaksanakan dengan berbagai metode dan pendekatan oleh lembaga dengan tujuan memberikan ketertarikan warga belajar yang memang usia mereka antara 15 – 55 tahun. Metode dan pendekatan yang dilakukan pun berbeda-beda sesuai dengan desain konteks lokal dari keberadaan penyelenggaraan program. Program keaksaraan pun diikuti dengan kegiatan fungsional seperti, membuat sabun colek ataupun kegiatan peningkatan keterampilan hidup warga belajar. Perbedaan metode dan pendekatan yang dilakukan oleh lembaga berpedoman kepada Standar Kompetensi Keaksaraan Dasar (SKKD) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).
SKKD mengenai keaksaraan pun telah direvisi oleh Kemendiknas khususnya Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal pada tahun 2009. SKKD itu sendiri merupakan standar minimal yang harus dikuasai oleh warga belajar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar. SKKD ini melingkupi beberapa aspek, yaitu, 1). Mendengar; 2). Berbicara; 3). Membaca; 4). Menulis; dan 5). Berhitung. Keseluruhan aspek SKKD yang telah direvisi berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan bermakna bagi warga belajar.
Hasil revisi SKKD yang telah diterbitkan memuat Standar Kempetensi Lulusan Pendidikan Keaksaraan Dasar (SKL – PKD). SKL – PKD ini dimaksudkan sebagai kualifikasi kemampuan warga belajar setelah mengikuti program keaksaraan dasar yang mencangkup pengetahuan, sikap dan keterampilan. SKL – PKD dijabarkan dalam standar kompetensi dan selanjutnya dijabarkan dalam kompetensi dasar. SKL – PKD terdiri dari lima standar kompetensi sesuai dengan SKKD, yaitu standar kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung.
Standar kompetensi mendengarkan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu memahami wacana lisan berbentuk pesan, perintah, petunjuk yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi berbicara ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan, bertanya, bercerita, mendeskripsikan benda, memberikan tanggapan/saran yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi membaca ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa teks panjang, pesan, petunjuk, lambang dan nama bilangan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi menulis ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi berhitung ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan agar setelah mengikuti pendidikan keaksaraan dasar, warga belajar mampu melakukan penghitungan matematis secara lisan dan tulis yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Standar kompetensi keaksaraan ditempatkan dalam alur penyusunan rencana pembelajaran keaksaraan dasar. Standar kompetensi keaksaraan disusun mengikuti alur rencana pembelajaran secara sistematis mulai dari tingkat pusat sampai kepada tutor sebagai pengajar. Pusat atau dalam hal ini Kemendiknas memberikan acuan ke daerah/ pengelola berupa standar kompetensi lulusan dengan bentuk kompetensi dasar yang berisi kompetensi dasar sebagai indikator yang dapat dinilai. Daerah/ pengelola menterjemahkan acuan pusat menjadi silabus untuk dikembangkan tutor. Tutor mengembangkan silabus yang diberikan oleh pengelola menjadi rencana pelaksanaan pembelajaran yang bermuatan, yaitu, 1). Tujuan pembelajaran; 2). Materi pembelajaran; 3). Metode pembelajaran; 4). Sumber belajar; dan 5). Penilaian hasil belajar. Berikut ini bagan mengenai alur yang diberikan oleh pusat sampai dikembangkan oleh tutor :
Kedudukan Standar Kompetensi Keaksaraan dalam Alur
Penyusunan Rencana Pembelajaran Keaksaraan Dasar
Standar kompetensi keaksaraan dalam alur rencana pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan oleh penyelenggara program pembelajaran keaksaraan fungsional. Kegiatan keaksaraan fungsional dilakukan melalui beberapa metode, pendekatan dan juga materi yang diberikan dan telah disesuaikan dengan warga belajar berdasarkan kondisi lingkungan eksternal maupun internal dari warga belajar. Kenyataannya banyak sekali program keaksaraan yang memberikan materi keterampilan dalam hal fungsional seperti pembuatan sabun colek atau membuat kue kering sebagai sajian hidangan pesta.
Yappika memberikan materi pembelajaran yang berbeda mengenai hak dasar dengan fokus pada 4 hal, yaitu, 1) Hak mendapatkan pendidikan; 2) Hak mendapatkan pelayanan kesehatan; 3) Hak memeluk agama; dan 4) Hak kebebasan berpendapat yang merupakan penyadaran hak pelayanan publik sebagai bentuk fungsional dari kegiatan keaksaraan. Yappika itu sendiri adalah sebuah organisasi non politik yang saat ini sedang mendampingi berjalannya undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang memberikan jaminan pemenuhan pelayanan publik yang layak, termasuk pendidikan. Yappika sebagai penyelenggara program memfokuskan pada peningkatan kapasitas masyarakat terutama perempuan dalam mempertanyakan praktek-praktek pelayanan publik yang disediakan pemerintah yang mereka terima untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Pelaksanaan program ini menghasilkan outcome berupa meningkatnya pemahaman warga belajar mengenai prosedur mengakses pelayanan publik sebagai hak dasar mereka dan adanya dukungan dari pemerintah desa/kelurahan atau key person lokal lainnya untuk pengembangan sarana kegiatan belajar komunitas secara berkelanjutan. Output dari kegiatan keaksaraan adalah meningkatnya kemampuan baca-tulis-hitung perempuan buta aksara di komunitas miskin kota serta kemampuan memahami informasi tentang pelayanan publik di bidang kesehatan dan adminduk (administrasi penduduk), terbangunnya kerelawan warga, meningkat dan menguatnya keterampilan mahawarga belajar dalam pengembangan keaksaraan fungsional untuk masyarakat miskin kota, dan adanya strategi-strategi untuk pengembangan sarana belajar komunitas.
Keaksaraan fungsional penyadaran hak pelayanan publik juga menggunakan critical literacy sebagai pendekatan pembelajaran selain menerapkan pendidikan orang dewasa sebagai dasar pembelajaran. Critical literacy ini dimaksudkan sebagai strategi dalam hal membangun kognisi, afeksi dan psikomotorik warga belajar untuk memenuhi standar kompetensi mendengar dan berbicara sesuai dengan acuan SKKD. Bentuk dari critical literacy itu sendiri adalah membuat suasana belajar untuk dapat mengemukakan pendapat dan bertanya di dalam diskusi dalam kelompok belajar. critical literacy adalah sebuah ilmu mengenai rektorika untuk memulai percakapan dengan hubungannya dengan kekuatan bertanya. Menurut Anderson dan Irvine, 1982, critical literacy adalah pembelajaran untuk membaca dan menulis sebagai proses kesadaran menjadi salah satu pengalaman sebagai nilai historis.
1. Hakikat Pendidikan Orang Dewasa
a. Pengertian Orang Dewasa
Robert D. Boyd berpendapat bahwa orang dewasa adalah pribadi yang matang dan independen, dan telah mengalami beberapa tahapan proses psikologis yang berbeda dari psikologis anak-anak.[5] Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pendekatan terhadap orang dewasa sangat berbeda dengan pendekatan terhadap anak-anak, terutama pada lingkup pendidikan. Orang dewasa akan merasa dihargai bila pembelajaran yang diikutinya mengacu pada pemecahan masalah, bertukar informasi, sesuai dengan pengalaman yang mereka alami dan tidak terkesan mentutori. Orang dewasa cenderung memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi.[6] Mereka berpendapat bahwa belajar merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosialnya. Makna pembelajaran bagi orang dewasa hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Soedomo berpendapat bahwa dalam merencanakan sekaligus menumbuhkan motivasi orang dewasa dalam proses pembelajaran, perlu diperhatikan beberapa ciri seperti berikut ini:
Motivasi belajar berasal dari dirinya sendiri.
Orang dewasa belajar jika bermanfaat bagi dirinya.
Orang dewasa akan belajar jika pendapatnya dihormati.
Orang dewasa belajar ingin mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
Orientasi belajar orang dewasa terpusat pada kehidupan nyata.
Belajar bagi orang dewasa adalah hasil mengalami sesuatu.
Belajar bagi orang dewasa bersifat unik.
Orang dewasa umumnya mempunyai pendapat, kecerdasan, dan cara belajar yang berbeda.
Belajar bagi orang dewasa terkadang merupakan proses yang menyakitkan.
10. Orang dewasa mengharapkan suasana belajar yang menyenangkan dan menantang.
11. Terjadi komunikasi timbal balik dan pertukaran pendapat.
12. Sumber belajar bagi orang dewasa berada pada diri mereka itu sendiri.
13. Pada belajar orang dewasa lebih mengutamakan peran orang dewasa sebagai warga belajar didik.
14. Belajar bagi orang dewasa merupakan hasil kerja sama antara manusia dan merupakan proses emosional dan intelektual sekaligus.[7]
Ciri-ciri di atas merupakan karakteristik dari orang dewasa selama proses pembelajaran. Karakteristik orang dewasa perlu diketahui dalam memulai suatu kegiatan pembelajaran bagi orang dewasa, sehingga mereka akan merasa dihargai dan situasi pembelajaran akan lebih berpusat pada warga belajar didik orang dewasa (student oriented).
[1] Standar Kompetensi Keberaksaraan, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional, 2006), p.6.
[2] Kusnadi, M.Pd, op.cit., p.192-197.
[3] Standar Kompetensi Keberaksaraan, op.cit., p.9.
[4] Tom Burkard, Understanding and Facilitating Adult Learning, (San Fransisco: Josey Bass Publlishers, 1999), p.31.
[5] (http://eeqbal.blogspot.com/2008/12/konsep-pendidikan-orang-dewasa-dan.html) akses tanggal 30 April 2011.
[6] Ibid., h. 3.
[7] Dr. Ir. H. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 45.
http://prari007luck.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar