Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Ilustrasi
"Evaluasi kualitatif itu umpamanya sikap seseorang. Itu kan harus dievaluasi. Sikap daerah terhadap membaca itu baik atau tidak. Itu yang selama ini tidak dihitung. Yang dihitung itu kuantitatif saja, berapa orang yang sudah bisa baca, dan sebagainya," kata Arief, Jumat (21/10/2011).
Saat ini, menurut data pemerintah, terdapat 8,3 juta atau 4,6 persen dari total jumlah penduduk masih belum menguasai baca dan tulis. Sebagian dari jumlah tersebut adalah mereka yang berada di usia lanjut, atau di atas 40 tahun.
Menurut Arief, ada tiga
persoalan penting dalam pendidikan keaksaraan. Tiga persoalan itu adalah sikap, kebiasaan, dan dorongan-dorongan seseorang yang membuatnya merasa tetap bisa mendapatkan uang tanpa perlu bisa membaca. Arief mengatakan, filosofi kehidupan yang luhur bertabrakan dengan hal-hal yang sifatnya lebih kepada materi.
"Nilai-nilai ini dikalahkan karena orang menganggap kemampuan membaca tidak penting. Mereka berpikir, lebih baik tidak bisa membaca tetapi punya uang. Mereka tidak tahu bahwa dengan membaca maka kita bisa memegang nilai-nilai luhur dari bangsa dan kehidupan ini," paparnya.
"Awal dari peradaban adalah keaksaraan itu sendiri yang berjalan dari masyarakat yang belajar. Kemampuan baca tulis dan berhitung itu sifatnya berkelanjutan, sedangkan uang atau materi tidak," lanjut Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco ini.
http://regional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar